Majalah Bintang Merah pertama kali terbit November 1945. Rosihan Anwar dalam bukunya, Napak Tilas ke Belanda, menyebut majalah Bintang Merah terbit pada 17 November 1945.
Sejak terbit, Bintang Merah sudah diposisikan sebagai jurnal teori. Majalah ini langsung dikontrol oleh departemen agitasi dan propaganda PKI. Aidit, yang saat itu ditempatkan di Agitprop partai, sempat menjadi salah satu nahkoda majalah ini.
Majalah yang mengusung slogan “Mingguan untuk Demokrasi Rakjat” terbit sekali dalam dua bulan. Selain Aidit, Lukman dan Njoto, yang saat itu juga sudah di Jogjakarta, juga terlibat di majalah ini.
Pada September 1948, terjadi “provokasi Madiun”. Sayap kanan segera menuding PKI melancarkan ‘pemberontakan’ di Madiun, Jawa Timur. Itulah yang menjadi dalih untuk membersihkan PKI dan kaum merah lainnya. Bintang Merah juga terkena imbasnya.
Pada tahun 1950-an, Aidit dan Lukman menghidupkan kembali Bintang Merah. Majalah itu resmi diluncurkan pada 15 Agustus 1950. Duduk dalam susunan dewan redaksi, antara lain: Aidit, Njoto, Lukman, dan Peris Pardede. Kantor redaksi menumpang di kediaman Peris Pardede di Jalan Kernolong 4 Jakarta.
Trikoyo Ramidjo, yang terlibat penerbitan Bintang Merah, menuturkan, tempat redaksi Bintang Merah itu sekaligus kantor CC PKI. Lalu, beberapa saat kemudian, kantor CC PKI dipindahkan ke gang Lontar.
“Dulunya ukurannya besar, tetapi kemudian diperkecil agar bisa masuk ke saku. Tetapi namanya tetap Bintang Merah,” kata Trikoyo.
Bintang Merah diproduksi hingga 10.000 eksemplar. Majalah ini distribusikan ke seluruh Jawa, Sumatera, dan Sulawesi.
Penerbitan Bintang Merah tidak gampang. “Kita setengah mati kumpulkan duit. Itu dipakai untuk mengurus surat ijin penerbitan kertas. Sebab, tanpa surat itu, orang tidak bisa menerbitkan koran,” kenang Trikoyo.
Yang paling banyak menulis adalah tiga serangkai: Aidit, Njoto, dan Lukman. Sebagai jurnal teori, para penulis memang diharuskan adalah orang-orang yang memahami marxisme dengan baik.
Bintang Merah sering mengangkat soal Marxisme-Leninisme. Spesialis penulis di bagian ini adalah Aidit. Selain itu, edisi-edisi awal Bintang Merah banyak diwarnai artikel polemik dan penegasan posisi politik.
Edisi No.12-13 tahun 1951, misalnya, mengulas secara khusus mengenai sikap politik PKI terkait ‘peristiwa Madiun’. Seorang bernama Mirajadi menulis artikel berjudul “Tiga Tahun Provokasi Madiun”. Bagi PKI, provokasi Madiun merupakan buah dari pertemuan Sarangan, pada 12 Juli 1948, yang memutuskan apa yang disebut “red-drive proposal” atau pembasmian kaum merah.
Selain soal Madiun, Bintang Merah juga banyak menghajar penyimpangan-penyimpangan marxisme, khususnya Tan Malaka. Bintang Merah tahun ke-VI No.7, 15 November 1950 hlm. 206-208, misalnya, ada tulisan MH Lukman berjudul “Tan Malaka Penghianat Marxisme Leninisme”. Di situ, MH Lukman ‘menghabisi’ posisi teoritik Tan Malaka.
Serangan juga diarahkan kepada Hatta. Di Bintang Merah vol.7 nomor 1-2, Njoto menulis artikel berjudul “Pemalsuan Marxisme”, yang memblejeti pandangan Hatta tentang komunisme.
Di harian Sin Po 3 tahun 1950 Hatta menulis: “Apa bedanja antara saja dan seorang komunis? Bedanja jalah melainkan halnja saja masih memegang teguh igama dan seorang komunis tidak mau tahu igama. Lain dari dalam hal igama, tidak bedanja antara saja dan seorang komunis.”
Njoto membantah argumentasi itu. Di bidang ekonomi, katanya, Hatta setuju dengan pembangunan ekonomi sosialis, tetapi menolak nasionalisasi.
Bintang Merah memang banyak memainkan peran sebagai konsolidasi ide-ide marxisme. Dengan demikian, setelah orang-orang itu relatif sama dalam ide (marxisme-leninisme), maka pembangunan (reorganisasi) partai menjadi gampang.
Setelah terbit beberapa edisi, akhirnya muncul keinginan untuk membangun kembali PKI. Orang-orang PKI lama pun dikumpulkan. Beberapa ditugasi membangun onder seksi commite sebagai syarat pembentukan seksi komite.
“Kita bikin onder seksi komite di Senen dan Salemba dulu. Kita juga sengaja mencari orang Jakarta asli,” kata Trikoyo.
Pada bulan November 1950, ada peringatan peristiwa “12 November 1926” (Pemberontakan PKI terhadap kolonialisme Belanda). Diputuskan untuk menggelar rapat umum di Taman Ismail Marzuki (TIM).
Njoto pidato singkat di rapat akbar itu. Inti pidatonya berusaha membangkitkan kembali semangat orang-orang PKI lama untuk membangun partai. Usai pidato, seperti diceritakan Trikoyo, panitia menyediakan formulir anggota.
Pada 7 Januari 1951, Komite Sentral (CC) dan Politbiro terbentuk. Anggotanya terdiri dari: Aidit, Lukman, Nyoto, Sudisman, dan Alimin. Belakangan Alimin mundur dan digantikan oleh Sakirman.
Bintang Merah punya jasa besar dalam membentuk dan membangun kembali PKI. Hal ini diakui pimpinan PKI sebagaimana tertulis di Bintang Merah, edisi 1-2 Djanuari 1951: “Bintang Merah kita memberikan sinar tjemerlang menerangi djalan jang harus ditempuh oleh anggota Partai dan kaum buruh jang sedar akan klasnja. Demikianlah tidak bisa diungkiri lagi, bahwa tersusunnja kembali organisasi-organisasi Partai di-daerah-daerah adalah sebagian besar atas dorongan dan pimpinan BintangMerah kita. Ketjuali itu, bersamaan dengan memberikan dorongan dan pimpinan dalam menjusun kembali organisasi-organisasi Partai didaerah-daerah Bintang Merah kita sekaligus memberikan dasar dan pimpinan untuk memakai sendjata kritik dan self-kritik… ”
KUSNO